Monday 14 March 2016


Setelah puluhan tahun lewat, beberapa bulan lalu saya berkesempatan napak tilas ke Jatinom, sebuah kota kecamatan (dulu kawedanan) di wilayah Klaten, Jawa Tengah, tempat Makam Ki Ageng Gribig Jatinom Klaten berada. Kami sekeluarga pernah tinggal di kota kecil ini, sejak sebelum saya duduk di bangku TK sampai tahun 1967, saat masih di kelas 2 sekolah dasar.
Tempat pertama yang saya tuju adalah kantor Kawedanan Jatinom yang sekaligus sebagai rumah dimana dulu kami tinggal. Jatinom saat itu masih berstatus kawedanan, satu tingkat di atas kecamatan, di bawah kepatihan. Jatinom sudah jauh berubah. Oro-oro Jatinom, atau alun-alun, tempat pasar malam dahulu biasa diselenggarakan setiap tahunnya, terlihat mengecil.
Beberapa kali bertanya ke penduduk berusia lanjut membawa kami ke Kantor Kawedanan Jatinom “lama” namun “baru”. Hanya instink yang membuat saya akhirnya bisa menemukannya. Rumah itu masih seperti yang terpateri dalam ingatan, hanya terlihat tua, dan kosong. Pohon Jambu Dersono di halaman yang dulu buah putih kehijauannya sangat manis sudah tidak ada lagi.
Namun lorong di depan rumah yang tiap hari saya lewati saat berangkat ke sekolah sama sekali tidak berubah. Tetangga sebelah kanan, seorang mantri yang baik hati, telah lama pindah. Namun tetangga depan rumah, seorang ibu, masih yang dulu. Ada perasaan senang ketika bertemu dan berbincang dengannya, sedikit mengenang masa lalu, meski ingatan itu sangat samar.
Matahari sudah turun mendekati cakrawala ketika kami akhirnya meninggalkan rumah si ibu menuju ke Makam Ki Ageng Gribig Jatinom Klaten, yang arahnya lurus saja arah ke kanan, sampai mentok di ujung jalan. Jalan ini dulu sering saya lalui untuk membeli karak, sejenis krupuk dari beras, yang ditusuk bersusun vertikal dengan potongan bambu sebesar lidi.

Sesampainya di lokasi, kami masuk ke ruangan cukup besar dimana pintu masuk ke kompleks Makam Ki Ageng Gribig Jatinom Klaten berada. Pintunya dikunci, namun tidak lama kemudian datang seorang pria yang membantu memanggilkan kuncen. Pada dinding pendopo ruang tunggu makam terdapat denah tempat menarik di Jatinom, sebagian berada di tepi Kali mBelan.
Dulu cukup sering kami bermain di Kali Belan dengan Pohon Beringin tua di dekat undakan batu, dan memasuki gua mBelan. Bau ikan masih tersimpan di ingatan. Di seberang kali ada tebing yang di tengahnya ada sungai kecil jernih, tempat saya biasa pergi menemani mas Endro, supir kawedanan, untuk mandi dan mencuci baju. Kadang ia membawa gitarnya.
Lamunan masa kecil hilang lenyap ketika juru kunci Makam Ki Ageng Gribig Jatinom Klaten datang mendekat. Namanya Pak Jedeng (0856 284 7873, 0813 9387 9006), yang setelah bersalaman dan berbincang sebentar ia lalu membukakan pintu makam, dan mengantar kami memasuki area makam yang ternyata cukup luas, dengan melepas alas kaki sebelum melewati pintu.

Pandangan pada gapura lengkung tiga dengan lambang kerajaan di puncaknya, serta tulisan-tulisan yang menggunakan huruf Jawa yang saya tak lagi bisa membacanya. Harus belajar lagi. Sebuah makam dengan nisan unik dengan torehan angka 1821 di permukaannya kami lewati saat berjalan menuju ke cungkup utama dimana Makam Ki Ageng Gribig Jatinom Klaten berada.
Lambang kerajaan itu ada di sana karena Ki Ageng konon adalah keturunan Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit. Ini berbeda dengan apa yang sampai sejauh itu tersimpan di dalam ingatan. Sebelumnya saya kira bahwa nama Ki Ageng Gribig merupakan nama sebutan dari Syekh Maulana Maghribi, seorang wali kondang asal Maroko di barat laut Afrika.
Sebuah versi menyebut bahwa Ki Ageng adalah Syekh Wasibagno yang ketika muda bernama Raden Joko Dolog, anak Brawijaya. Ibundanya adalah Raden Ayu Ledah, puteri Sunan Giri. Versi lain menyebut Ki Ageng Gribig Jatinom adalah Syekh Wasibagno Timur (muda), putera Ki Ageng Gribig Ngibig yang anak Brawijaya. Ki Ageng Gribig Ngibig nama mudanya Raden Joko Dolok, dikenal pula sebagai Syekh Blacak Ngilo, Syekh Fakir Miskin dan Syekh Ageng Ngibig.

Cungkup utama Makam Ki Ageng Gribig yang terlihat bersih dan terawat. Beberapa makam tua berada di luar cungkup, tak terlihat pada foto. Menggantung di atas pintu ada beberapa baris tulisan. Tulisan yang di kanan berbunyi: Hambabar ubaling karso, hadedasar poncasila, hangudi luhuring bongso, hangayati kanti waspodo, handayani sentoso karto-raharjo
Konon beliau pernah berhasil membantu Sultan Agung untuk mencegah pembangkangan dan pemberontakan Kerajaan Palembang, tanpa perlu berperang menumpahkan darah pajurit dan rakyat. Ki Ageng juga berhasil menaklukkan Pangeran Mandurareja yang ketika itu berniat memberontak melawan kekuasaan Sultan Agung, kakaknya sendiri.
Atas jasanya itu beliau diperkenankan mendirikan pedesaan di tempat ia bertapa saat bertemu Sultan Agung, yaitu di bawah sepasang pohon jati tua dan muda di Hutan Merbabu, di kaki Gunung Merapi. Desa itu kemudian dinamai Jati Anom, atau Jatinom. Pohon itu ditebang oleh Ki Ageng Gribig untuk membuat masjid (Masjid Kecil), kentongan dan rumahnya.

Terdapat dua buah makam di dalam cungkup makam ini. Di sebelah kiri adalah Makam Nyi Ageng Gribig, dan di sebelah kanan adalah Makam Ki Ageng Gribig. Biasanya saya meminta kuncen untuk membuka penutup nisan, ingin melihatnya. Namun entah mengapa waktu itu saya tidak berminat untuk melakukannya. Setiap tempat punya cara sendiri dalam merawat makam.
Yang tidak pernah lepas dari ingatan adalah sebar apem sehabis Jumatan pada pertengahan Sapar, ritual Yaqawiyu. Konon sekembali dari Mekah, Ki Ageng tiba di Jatinom pada pertengahan Sapar, membawa roti gimbal dan segenggam tanah dari Arafah. Anak cucu dan tetangganya pun berkumpul, kebetulan malam Jumat, untuk mendapat wejang dan berkah.
Namun lantaran jumlahnya tak cukup jika dibagi satu per satu, roti gimbal yang telah dibuat jadi apem oleh Nyai Ageng Gribig itu lalu disebarkan, diperebutkan, sehabis salat Jumat keesokan harinya. Peristiwa itulah yang kemudian menjadi tradisi Yaqawiyu, diartikan Tuhan Mohon Kekuatan. Sedangkan tanah Arafah ditanam di ‘pengimaman’ Oro-oro Jatinom.
Sungguh menyegarkan jiwa menapak tilas ke tempat yang menjadi bagian ingatan masa kecil, meskipun sesaat. Lebih-lebih kami menemukan rumah salah seorang supir kawedanan yang sudah sangat sepuh. Meski rumahnya kosong karena ia di Jogja menghadiri wisuda anaknya, namun kakak sempat berbicara lewat handphone dari teras rumahnya. Kejutan menyenangkan.

0 comments:

Post a Comment

Tata tertib berkomentar :
1. Komentar harus relevan dengan konten yang dibaca
2. Gunakan bahasa yang baik dan sopan
3. Tidak mengandung unsur SARA or Bullying.
4. Dilarang SPAM. Exp: Nice gan, Makasih Gan, dll
5. Dilarang menyisipkan link pada isi komentar. Aktif ataupun tidak.

Berlakulah dengan bijak dalam menggunakan sarana publik ini. Baca dan pahami isinya terlebih dahulu, barulah Berkomentar. Terimakasih.

Contact Admin

Recent Post

    Area Soloraya

    VISIT SOLORAYA

    Seni Budaya Jawa

    Popular Posts

    Kalender

    Translate To



    EnglishFrenchGermanSpainItalianDutchRussianBrazilJapaneseKoreanArabicChinese Simplified



    Labels

    Boyolali (14) Karanganyar (25) Klaten (11) Sragen (17) Sukoharjo (11) Surakarta (13) Wonogiri (14)